Friday, September 29, 2017

Syukur

Bila mendung menutupi mentari
Menghentikan hangatnya yang indah
Dan gelap serentak melingkupi seluruh tubuh ini
Jangan kau padamkan jua dian dalam tempayan
Pabila kau rasa sepi tiada ampun
Jangan pernah kau tinggalkan jejak hitam itu di belakang
Dan menghilang perlahan bersama sang waktu
Adakah semuanya akan kembali ataukah dia hilang selamanya
Jangan kau tanya lagi apapun
Biarkan hitam tetap berada di kegelapan di Ujung sana
Jangan kau teteskan noda setitik pun
Jangan kau hancurkan keabadian mereka yang setia kepada sang waktu dan akan mati pada waktunya
Dan ketika gelap mulai mendekati setiap raga dan membuat ilusi seakan nyata
Maka biarkan saja
Kita hanya perlu berada dimana kita akan terjatuh dan tak bangun lagi
Semuanya indah pada waktunya

Sunday, September 24, 2017

Selamat pagi

Seumpama ilalang di tepi jurang
Indah dipandang namun tidak untuk di tempati
Laksana hijaunya yang menyejukkan kalbu siapapun yang melihatnya
Abadi di pelupuk mata
Tarian lembutnya bak putri kahyangan
Gemulai diterpa sang bayu yang melintas
Terpampang nyata dihadapan bumi
Serentak lagu alam berkumandang di angkasa
Pepohonan bak serdadu hijau menyala
Semuanya indah
Seperti bunga bakung di tepi jurang
Indah dipandangi oleh setiap jiwa
Bersembunyi bersama akar melintang
Takkan sampai tangan menggenggam
Hanyalah netra yang mampu menembus keindahan mungilnya
Berpijar terang seperti mentari pagi
Sejuk menerpa kulit keriput
Bertelut di balik pohon pinus nan tinggi
Biarkan cahaya turun ke bumi
Ku hela nafasku dan menariknya masuk kedalaman raga
Melipat ruas jari bersama mata yang terpejam
Menikmati suasana hidupnya yang terasa sempurna
Semuanya indah

Saturday, September 23, 2017

Semangat

Aku masih disini
Berharap segala apa yang terjadi menjadi milikku saja
Semuanya menjadi kenyataan yang tidak menyilaukan netra kecilku
Yang selalu ku ulangi dan tak pernah ku hentikan
Bagaikan angin yang berhembus lembut melintasi bumi
Dia pergi kemana dia mau
Bukan balasan dia harapkan
Bukan juga permata palsu di dalam bongkahan batu
Namun cinta kasih nyata yang melingkupiku
Aku masih disini bersama mentari yang bersinar cerah
Yang selalu menghantarkan dan membakar semangat yang bergelora
Tak hentinya aku berteriak kencang
Bergema di angkasa sorak sorai suaraku
Dahsyat sungguh kekuatan cinta

Aku tak lemah

Jangan kau hina aku
Apabila aku tak pernah sempurna
Apabila aku terseok melangkah ataupun bersama kuk yang mengikat ku
Jangan pernah kau cemooh diriku
Pabila tanganku tak mampu menggenggam erat dunia ini
Jemari ku pun tak bisa disentuh oleh dunia bahkan cakrawala
Jangan kau ludahi aku
Bila kau melihatku merintih dan meronta di kubangan lumpur hidupku
Ketika tanganku terangkat menengadah pada setiap nyawa
Jangan sekalipun kau lempar aku dengan masalah yang kian menghimpit tubuhku
Karena si pembuat onar pun bosan padaku
Bonekanya tak menarik lagi untuk di permalukan
Tak bertulang lagi serasa kakiku
Bukan aku inginkan seperih ini
Tak ku mau jalanku berkerikil tajam
Namun apalah dayaku dibanding dengan dunia
Aku akan terjungkal ketika mereka berdiri serentak
Aku kerdil semakin menciut
Bumi pun seakan keras dan tak bisa ku jangkau lagi
Jangan engkau tertawa padaku
Pabila kau melihat mataku memandang kosong kedepan
Dan melemparkan tanganku bersama bayu yang bertiup lembut
Aku bukannya tidak tahu kemana angin kan berhembus dan bergelora
Namun aku hanya bisa tersenyum dan berdoa
Melipat kedua tanganku dan ku ucapkan pelan di dalam hatiku
Aku tak pernah menyerah

Cemas

Pernahkah kau merasa sendiri ditengah keramaian
Tiada seseorang yang melirik dengan ujung matanya
Ataukah berdecih pelan menghina dengan tajamnya
Namun kau tak di acuhkan
Sesaat kemudian terjadi dan berulang kembali seperti semula
Kau diam saja tanpa gerakan indahmu
Tapi kau tetap tak dianggap
Pernahkah kau menangis sendiri bersama rintik rinai hujan yang turun membasahi bumi
Yang jatuh dengan lembutnya bersama luruhnya air mata di pipimu
Melintasi sekujur tubuhmu diiringi halilintar menghardikmu disana
Namun kau tak dilihat siapapun
Nada lembut yang mendayu keluar dari bibir mungilmu
Tak juga membuat kau dipandangi oleh makhluk bermateri
Yang membawa bongkahan besi berwarna terang di tubuhnya
Berlenggak lenggok bagaikan burung merak
Berlapiskan keindahan dunia yang terasa sempurna menutupi buruknya dirinya
Pernahkah kau berlari kencang di tengah kerikil tajam
Kau jatuh namun tak ada yang menolongmu
Kau teriak kan segala keluh kesah namun tetap juga kau bergelimang di dalam kesakitan mu seorang
Sementara mereka tertawa melihat wujud mu disana

Sendiri

Ketika langit hitam kupandangi
Hanya hitam tanpa noda setitik pun
Jalanku tersesat bersama ragaku yang terjatuh di sini
Aku tetap sendirian
Tiada dian penuntun langkahku
Tiada tongkat penahan raga ku
Tiada kasut yang melindungi kaki kecilku
Apapun tiada  terlihat
Aku bagaikan makhluk hina disini
Tersembunyi dibalik pembuangan akhir
Hanya tercium aroma busuk menusuk ke tulang
Tak kan ada yang melihat wujud ku
Aku kecil dan papa di balik cerita ini
Ketika samar ku lihat seberkas cahaya di ujung sana
Perlahan menyilaukan netra ku
Hatiku bersorak sorai karena ku merasa dia menjemputku dari gelap ini
Ku lekukkan badanku dengan gemulai
Seakan bercerita bahwa aku gembira disini
Namun ternyata cahaya itu perlahan membutakan netra ku
Dan meninggalkan diriku sendiri di tepi hidup ini
Aku terpaku dan terkulai lemah
Tak kuasa kupandangi dan semakin suram
Tarianku pun mulai menghilang perlahan
Aku takkan bisa pernah di lihat oleh jiwa
Aku sedih sendirian
Disini disudut gelap aku berdiri
Ku undur diri selangkah mundur dan akhirnya menghilang bersama gelap yang menelanjangi dan menelan ragaku

Friday, September 15, 2017

Selamat pagi

Pagiku telah datang kembali
Bersama dengan desir desau air gemericik
Yang menebarkan aroma basah
Menghantarkan sejuknya menelisik raga
Sempurna
Bersamaan dengan suara decit burung kecil yang bersuara merdu di sarangnya
Dia bernyanyi dengan nyaring dan melepaskan beban yang menghitam di malam kemarin
Bersamaan muncul nya lembayung jingga di kejauhan sana
Semakin merona diriku dibuatnya
Aku merasa sempurna
Segalanya ku genggam bersama asa yang kupahat rapi di dalam hati
Bersama dengan doa doaku yang terujar bersama bibir ini
Aku merasa sempurna
Kulihat di sana
Segerombolan anak manusia beriringan
Tertawa riang gembira mereka
Tiada beban menghadang dan menghalangi jejaknya
Mereka merasa sempurna menjemput pagi yang menjelang
Dan bercerita akan mimpi yang belum usai di ceritakan
Kulihat jua di sana di ujung jalan sana
Asap mengepul lembut bagaikan alam yang terbatuk merdu
Bersama dengan indahnya suara dapur si istri yang bersahutan dengan irama suaranya yang memanggil seluruh penghuninya
Aku merasa sempurna
Ku nikmati lagu alam dari sini
Dari sudut kota yang penuh cerita yang tak pernah berakhir
Ku jejalkan biji bijian bumi kedalam tubuhku
Bersama dengan tegukan kenikmatan si pelepas dahaga ku
Aku merasa sempurna

Jika malam telah tiba

Jika malam telah tiba
Dan sang mentari kembali ke haribaan bumi di ujung barat
Meninggalkan sisa kepongahannya sesaat
Menyisakan cerita yang takkan pernah usai diberitakan oleh si penguasa langit
Bersahutan berkoar memekakkan telinga si makhluk kerdil di tepian sungai
Saling berbagi kisah hidupnya yang terasa sempurna di rasa dan cukup untuk menjadi pedoman di kelam hari
Samar kedengaran jejak langkah kaki melintasi bumi tempatku berpijak
Semakin mendekat dan semakin kuat iramanya
Tiada lagi pelindung selain malam yang menyiksa dan mulai dingin sekujur tubuhku
Ketakutan semakin nyata terpampang di hadapan netra
Akankah aku mati disini
Dikala senja baru meninggalkan Daku seorang
Ataukah aku harus bergegas menghanyutkan diriku bersama aliran sungai kehidupan yang semakin deras ini
Aku bingung dan mulai menangis pilu

Wednesday, September 13, 2017

Sebait doa

Wahai kau sang pemilik bumi
Yang bertahta di atas singgasana keemasan berpijar terang
Pemilik semesta tak berkesudahan ini
Yang berlafazkan untaian nada nada indah mengalun merdu
Kau lah sang empunya setiap raga dan jiwa yang bergelora
Tak ada hentinya nada indah berkumandang di ufuk timur hingga senja di barat yang bak lembayung kemilau
Tak putus-putusnya rasa sujud syukur ku panjangkan kepada Engkau
Tiliklah kedalaman hati ini ya maha pengasih
Akankah semuanya ini abadi sepanjang hari
Ku lantunkan lagu pujian dari mulut nan hina
Bertelut di kegelapan malam sendiri bertemankan dian
Sang bayu meniupnya dan menutupi seberkas cahaya yang melingkupiku
Aku hanyut bersama kesuraman yang semakin lama semakin besar dan hilang
Aku masih tetap berdiam

Tuesday, September 12, 2017

Angkuh

Jika matahari membawa duka bagimu
Apa kabar sang bayu yang menghempaskan semua hidupmu
Jangan kau hitung berapa jumlah hujan
Karena dia takkan mau bergurau dengan ceritamu
Ataupun kau pahat semua doamu di dinding ragamu
Dia hanya diam dan tertawa melihat kau seolah bangkai yang berbau busuk
Bila semua raga seirama meninggalkan mu
Apa kabar dunia yang kan menolak kedatangan dirimu
Jangan kau pura pura mencintai kepolosan mereka
Karena semua akan kembali meminta milik mereka
Semua jiwa menanti akan cahaya pagi yang hangat
Semua nafas menyatu bersama iringan nada alam berkumandang di kejauhan
Jangan kau paksakan bila kau tak mampu berdiri
Apakah itu bisa membuat mu bahagia
Ataukah itu membuat mu tertawa riang gembira
Jangan kau tuduh pepohonan yang merapat di tepi tebing
Yang menyembunyikan jurang di sampingnya
Seolah mereka tidak melihat kau melangkah
Akankah kau juga memaksa burung di langit untuk mendengar nasihat palsumu
Oh wahai engkau yang mengaku anak Adam
Apakah yang kau tuju dalam perjalan panjang ini
Apakah harapan semua dunia ini akan kau genggam?
Tuhan saja selalu berbaik hati berbagi nafas denganmu
Apakah kekayaan itu membuat mu buta dan seolah tak melihat semak di hadapan netramu
Ataukah kerikil kau pikir jua menjadi berlian abadi
Kau sungguh terlalu luar biasa
Kau pamerkan segenap kekuatan kedua tanganmu sembari kau berbicara lantang
Pasanglah segala keindahan dunia di raga dan jiwamu
Berjalan bagaikan boneka kayu yang kian menunduk akibat kuatnya tekanan bumi
Menjatuhkan dan membuatnya tak berdaya pada mata jiwa yang melihat
Akankah kau juga menyalahkan sungai yang menghalangi langkah kakimu
Kau tak bisa melewati setiap masalah yang menerpa
Seolah kau takut akan hilangnya tenaga sesaat yang hinggap di kedua kakimu
Tergerus oleh aliran air yang membersihkan setiap makhluk yang datang
Akankah gunung disana kau hina karena mereka membungkukkan badan nya kepada bumi
Berselimutkan rerumputan hijau di antara setiap pohon
Kau anggap itu adalah zamrud yang melingkar di jari tanganmu
Oh wahai engkau mahkluk fana
Semua akan selalu menjadi batu sandungan bagi hidupmu
Takkan kau hiraukan suara panggilan di penghujung waktu
Takkan kau lihat prahara yang kan datang menghampiri semuanya
Namun kau tetap angkuh di sudut sana
Itu kau buat menjadi tuanmu

Aku

Aku adalah aku
Bukan dia ataupun mereka
Bukan juga seorang pemilik dunia
Aku hanyalah aku
Seorang musafir yang berjalan kemana angin kan meniup kan diriku sendiri
Berjalan bersama sang waktu yang setia di sisiku
Yang setia dari ufuk timur hingga dia pergi meninggalkan diriku bersama gelap yang menjemputnya nanti
Namun aku tetaplah aku
Seorang merdeka tiada pantangan
Melangkah kemana kakiku akan menuntun setiap jejak yang bisa ku ikuti
Aku bukan lah budak zaman
Bukan juga seorang bertuankan kemegahan
Namun aku hanyalah aku saja
Si mahkluk bebas kemana setiap mata memandang aku kan berada disana
Disetiap sudut kelam ataupun senja
Aku tetap memandang teguh kedepan
Tidak goyah tiada ragu tuk berujar
Jiwaku hanya milikku sendiri
Hanya Tuhanku saja pemilik ragaku
Bukan apapun yang menjadi tongkat hidupku
Seiring berjalannya waktu nanti
Aku masih berjalan dan berjuang
Apapun rintangan di hadapanku adalah bayangan yang harus ditempuh
Aral melintang menjadi santapan harian yang kian bergelora
Prahara pun akan kuterjang demi keindahan abadi
Aku hanyalah aku bukan siapapun
Seorang musafir yang selalu menyapa setiap jiwa yang melintas di hadapannya
Bercerita tentang hidup yang berlalu kemarin
Aku adalah aku si pemilik ragaku

Monday, September 11, 2017

Elegi kehidupan

Aku bukanlah seorang manusia tiada dosa
Yang membersihkan diri dalam kubangan kepalsuan
Hanyalah sebuah lilin yang kecil
Yang kan pada akhirnya kan padam ketika habis sudah kekuatannya
Memberikan sinar kecil hangatnya
Mampu terangi sudut kelam di sebuah penjara jiwa
Aku bukanlah musafir yang mampu berkelana bersama hitungan waktu
Hanya bergeming ketika waktuku telah usai dan aku musnah
Detik demi detik kan berlalu bersama sebuah hitungan kehidupan
Kembali lagi namun dengan aura tak sama
Tak lagi ceria seperti kemarin
Tak lagi tertawa seperti dahulu kala
Tak lagi tersenyum seperti biasanya
Tak lagi sama seperti dahulu
Ketika aku mencoba melangkah kedepan
Kulihat ada belenggu mengikat di kedua kakiku
Melemahkan raga musnahkan asa dan doa ku
Sampai dia pemilikku pun terhina karena ku
Seperti itukah cerita yang harus dilalui oleh si jiwa nan papa ini
Tak mampu walau hanya sekilas pun
Seakan semua pergi meninggalkan Daku di kursi pesakitan tak bertuan kemiskinan
Dia tertawa dengan suara reotnya
Tak mampu bergeser ke depan lagi
Atau aku kan terjatuh tanpa bisa bangun lagi seperti sedia kala
Apakah suka dan duka akan menjadi musuh abadi di setiap usaha tanganku
Aku pun tak tahu apa gerangan garisan tangan ini
Ku rasa gelap semakin melingkupiku
Semakin terjebak dalam sebuah badai bergelora
Luluh lantakkan tubuh keriput nan kerdil ini
Haruskah itu juga menjadi bagianku ?
Aku hanya diam dan tak mau apapun
Ku takut langkah kan walau sedetik saja
Aku takut ku kan hilang dalam  sekejap
Ketika pusaran kepalsuan berkeliling di atas kepala ku
Seakan menjadi mahkota penuh dusta dan hinaan si tuan nan kaya raya
Aku hanya mampu melihat ke bumi saja
Tak bisa lagi tengadahkan kedua tanganku walau hanya sebentar
Aku tak mampu

Friday, September 8, 2017

Hening di ujung nafas

Setega itukah langit menghunusku dengan pongahnya
Sehancur itukah jiwa ku kini
Meratapi diri di balik bebatuan hitam di ujung tebing yang tinggi
Apakah semua pedang ini akan membunuhku secara cepat ataukah perlahan lahan namun menyisakan dendam
Aku tak berdaya terikat di sini
Aku tak kuasa beranjak walau hanya sejengkal saja
Namun seakan bumi pun ikut menolak kedatangan ku
Tak dihiraukannya teriakan tertahan dari bibir perih ku
Ku Coba melepas jiwa dari ragaku namun lihatlah tebing seakan menghalangi niatku
Dedaunan mengejekku dengan tarian angkuhnya
Tiupan sang bayu seakan berbisik padaku
Kau lemah tak berdaya namun kau takkan bisa melakukan apapun
Aku terisak dan bertelut disini
Merintih mencoba melepaskan dari jerat kehidupan tak kekal ini
Namun sembilu menyayat sekujur tubuhku
Satu sayatan indah di torehkan ilalang pada raga ku
Tapi tak jua ku meninggalkan jiwa ini
Merintih pun seakan tak bernada merdu lagi
Sesaat kurasakan putih di hadapanku
Tapi hilang jua akhirnya
Aku masih disini bersembunyi

Tuesday, September 5, 2017

Hujan di kala senja

Terbayang wajahmu ketika kau terlihat oleh pandangan netra ku
Berdiri sendiri di sudut senja bersama bayanganmu
Kau tengadahkan sejenak keatas sana
Semilirnya angin yang bertiup lembut
Melintasi ragamu dan mengajak untaian rambut indahmu menari
Menghalangi penglihatan ku akan betapa sempurnanya kau bersama petang menjelang
Kau diam tak bergerak
Kau kaku tak beranjak
Seakan kau terpahat hanya untuk disana saja
Walau dunia melintasi mu namun kau kokoh disana
Aku ingin mendekat padamu dan berbisik merdu
Tapi jiwaku berontak dan tak bertenaga
Tak mengaung dan bergema batinku didalam tubuh
Hanya mampu melirikmu dari sini
Seiring berjalannya waktu
Rintik rinai hujan berlari menuju bumi
Bagaikan anak panah melesat tajam
Kau tak bergeming walau sejengkal saja
Dan dia mulai membasahi sang bumi
Dan menebarkan aroma basah menusuk hidung
Aku mencintainya katamu
Kau peluk dirimu bersama angin yang menerpa
Semakin lama semakin tak berguna
Dinginnya petang pun seakan melengkapi sejuta tangisnya
Dalam diam jatuh bersama sang hujan
Aku hanya bisa melirik mu dari sini