Thursday, August 27, 2020

harapan

Seumpama nanti mentari tak muncul lagi dan kian gelaplah dunia
Apakah kau tetap cinta padaku?
Ketika aku kelam dan tak terjamah lagi
Akankah kau setia menanti cahaya?
Dan jika ternyata aku tua dan usang 
Apakah akan tersingkirkan oleh pendatang yang lembutnya menggetarkan raga?
Akankah?


Seumpama habis waktuku dan tak bisa kembali
Apakah musnah asaku kelak?
Akankah mimpi itu hilang tak berbekas bagai bayu bertiup merdu
Dan jika ternyata aku tak lagi mampu menopang dan berdiri tegak 
Akankah ada sandaranku nanti?
Akankah?

Saturday, May 2, 2020

Fatamorgana

Sepinya hari semakin terasa direlung kalbu
Tiada suara tiada nyanyian rindu bergema
Hampa bagaikan kehidupan enggan menghampiri
Tak ada kebahagiaan lagi datang
Semuanya menjauh
Gelap sudah

Berjalan terseok-seok melintasi aral
Membawa beban berat yang kian menghimpit raga
Kepala tertunduk pilu meratapi nasib si anak papa
Berharap hujan akan datang dan menyembunyikan air matanya yang mengalir menganak sungai
Tapi awan pun seakan enggan menemani langkah-langkahnya
Gelap sudah
Semua kian menjauh dan semakin tak terjangkau

Friday, September 20, 2019

Pongahnya mereka

Berjuta warna berpadu di jagad raya
Berpijar terang benderang menghiasi bumi
Nirwana iri kini ada pesaingnya
Berkutat dengan praha menghantui

Untaian akal berseliweran mengitari kepala
Mengharapkan semua mimpi bersatu padu menghampiri
Akal sehat menghilang bersama ironi yang kian membentang disana
Semuanya semakin bersinar melawan warna
Hamparan nada nada penghias asa pun seakan enggan menepi diantara detik demi detik yang kian beranjak menjauh
Akupun membisu tanpa irama
Hanya kesunyian menemani kini
Aku diam

Sempurnakah mereka yang menghujatku dengan pongahnya?
Ataukah aku hina laiknya bangkai yang tak layak dikebumikan
Haruskah sang empunya kata tak menata irama kata demi kata lewat tutur manis bibirnya
Mereka tak tau apa itu celah tanpa noda
Mereka hanya tau sempurna namun tak bermakna
Hanya hiperbola yang kian menggunung dan siap meledak disetiap menit berlalunya dan mati kemudian

Thursday, September 19, 2019

Tak apa apa

Kau berikan kami senyum lugumu
Kami tak apa apa
Ketika kau tertawa melambai
Kami sungguh tak apa apa
Dan ketika kau menusuk kami lewat belakang
Kami masih tertawa memujamu
Kami masih tak apa apa
Dan akhirnya kau memusnahkan raga kami lewat ceritamu
Kami tidak bisa apa apa

Tak apa apa
Jika memang kaum papa tak berontak
Tak mengapa
Jika para pencari kehidupan bergelut noda
Tak perlu apa apa untuk menghancurkan sebuah bangunan penghalang netramu
Kami tak mau apapun
Kau sesukamu
Kau bicara menggelora
Menggebu gebu bagaikan ikan kena panasnya belanga
Namun itu bukan wujudnya
Tapi kami tak pernah bisa apa apa
Kau dilindungi jubah mewahmu
Kau berdiri dibalik topengmu
Kau bercerita dibalik dindingmu
Kami tetap memujamu

Tuesday, September 17, 2019

Lelah

Aku pernah tertawa menahan gejolak emosi didada
Pernah tersenyum walau tak sampai keujung mata
Pernah terluka seakan itu pelipur lara
Dan terjatuh kesekian kalinya
Aku lelah

Aku pernah berlari bersama senja dan cahaya disana
Pernah bahagia bersama detik detik terakhir yang kupunya
Dan aku rasakan dalam genggaman
Walau akhirnya terlepas dari tanganku
Aku lelah

Aku pernah merasa dipuja bagai dewa
Dipegang lembut bagaikan porselen licin takut pecah
Bagaikan patung mewah tersembunyi dibalik pintu dan menjadi kotor seperti seonggok sampah
Aku lelah

Aku lelah
Berlari mengejar cahaya aku tak sanggup
Menanti waktu yang kian menjauh aku lelah
Bermimpi bersama angin bertiup aku lelah
Sungguh aku tak bisa lagi
Aku lelah kini

Tuesday, September 10, 2019

Seribu alasan

Adakah maknanya hidup namun dipasung sang waktu
Ataukah terlihat bahagia tapi berkejaran dengan waktu yang tak pernah menanti digaris awal
Setiap cerita yang mereka lontarkan takkan pernah kembali dan menjadi sebuah asa

Kita akan selalu merayu jiwa jiwa kehausan akan nafsu dan menusuk bagai jelatang cantik
Kita menghamba bagai si bodoh dipertuankan oleh kekuasaan tirani dan itu akan dipeluk bak permata berharga ditepi jurang sana
Bergelut dengan kata mati pun akan dipuja kini
Kita selalu bagaikan segerombolan binatang buas berbulu domba yang lembut
Tak perlu belati untuk bertahan
Lidahpun mampu membunuh raga

Menanti cahaya

Aku pernah berlari dan terjatuh
Memeluk bumi pun ku tak mampu
Dunia tak mengizinkan daku tertawa sejenak
Apakah topengnya mulai usang dan rapuh
Dan menunjukkan bopengnya hati yang bertaburan kepalsuan
Akankah amarah nantinya melumatku bagai seonggok sampah tak berguna
Ataukah pijaran cahaya ikut membakar dan membuatku hitam membara

Aku pernah tertawa walau ternyata itu tak ikhlas
Tertawa bagai si bodoh yang siap dipasung membodohi jiwa
Berharap itu hanyalah sebuah simfoni penghantar lelapnya situbuh ringkih ketika malam tiba
Menari diantara serpihan serpihan tajamnya lidah menusuk sanubari
Tapi aku tetap menantinya